Rabu, 06 Mei 2015

Kosmologi Hindu Bali

BAB I PENDAHULUAN 1.1. 
 Deskripsi Singkat Tentang Kosmologi Kosmologi merupakan derivat dari ilmu filsafat, sebagai-mana karakter atau sifat dari ilmu filsafat yang merupakan sumber dari semua ilmu pengetahuan, maka demikian juga kosmologi memiliki keterkaitan dengan berbagai bidang ilmu pengetahuan. Untuk menelusuri keterkaitan kosmologi dengan ilmu-ilmu lain, maka akan sangat baik jika diawali dengan penelusuran terhadap makna kata kosmologi itu, sebab batasan makna tersebut akan memberi ruang lingkup pembahasannya. Luas atau terbatasnya pembahasan akan sangat ditentukan oleh definisi makna tersebut. Untuk kepentingan itu pula pada sub bab ini terlebih dahulu diberikan batasan atau definisi dari kosmologi itu sendiri. Kosmologi berasal dari kata cosmology yang terdiri dari dua kata, yaitu dari kata cosmos, dan kata logy, kata cosmos berarti jagat raya atau alam semesta, dan kata logy berarti ilmu pengetahuan. Jadi Kosmologi adalah ilmu pengetahuan tentang alam semesta. Sedangkan kata cos-mic artinya berkenaan dengan alam semesta (Kamus Kal-kulator Alpa Link, type L 628). Batasan lain menyatakan Kosmologi adalah; penyelidik-an, atau teori tentang asal-mula, dan watak, serta perkembang-an alam semesta sebagai suatu sistem yang teratur (Maulana, 2003:248-249). Pendapat lain lagi menyatakan bahwa; kosmo-logi adalah bagian ilmu filsafat, yang mempercayai uraiannya sebagai uraian yang lengkap tentang filsafat manusia dengan struktur-struktur dan norma-normanya. Bahkan kosmologi me-rupakan perpanjangan dan perluasan filsafat manusia, sebab manusia dengan sendirinya tidak dapat dipandang lepas dari dunia. Kedudukan kosmologi dalam sistem filsafat sangat dekat dengan ontologi (metafisika umum). Kedua-duanya mencari struktur-struktur dan norma-norma mendasar bagi kesemestaan. Tetapi kosmologi membatasi diri pada alam dunia. Bedanya dengan ontologi adalah; bahwa ontologi berusaha memahami baik manusia, dunia maupun Tuhan dalam satu keseluruhan konseptual yang koheren. Usaha ontologi itu memaksa pikiran manusia untuk meraih sampai ke inti paling murni yang tersembunyi dalam struktur-struktur pengalaman manu-sia, dengan berusaha mengatasi keterikatan pengetahuan manusia pada pengalaman indriawi. Kosmologi menggunakan kategori-kategori yang lebih konkrit dan lebih rendah dari pada ontologi. Pada hakikatnya pemahaman ontologi melatarbela-kangi seluruh filsafat lainnya termasuk kosmologi (Bakker, 1995:5). Lebih lanjut Bakker menguraikan kosmologi Sistematis berusaha menemukan prinsip-prinsip paling mendasar bagi pengurusan dan konservasi alam dunia kita. Dengan demikian kosmologi dapat memberikan sumbangan prinsipal bagi ekologi. Kosmologi Sistematis merupakan usaha sintesis baru yang menyatukan banyak segi inspirasi. Titik pangkalnya ada-lah filsafat Aristotelo-Skolastik, yang berusaha memikirkan struktur-struktur kosmis yang pokok dengan didominasi oleh prinsip-prinsip hilemorfisme (Bakker, 1995:6). Kosmologi tidak berbicara tentang Tuhan, dan lebih lagi tidak berpangkal dari adanya Tuhan. Itu tidak berarti bahwa Tuhan disangkal sebagai causa prima yang menciptakan kosmos. Tetapi kosmologi berabstraksi dari Tuhan: Tuhan tidak disingkirkan, tetapi tidak dipertimbangkan. Alasannya adalah bahwa menu-rut objek formal dan metode mereka; ilmu-ilmu itu juga tidak berbicara tentang Tuhan; tetapi kekosongan itu tidak dianggap sebagai suatu penyangkalan tentang Tuhan. Memang pembicaraan seperti itu tidak pada tempatnya dalam skope ilmu itu. Demikian juga kekhasan kosmologi sebagai bagian filsafat sistematis adalah memikirkan manusia dan kosmosnya dengan bertitik awal dari manusia dan lingkungannya, tanpa membicarakan Tuhan, apalagi tanpa lebih dahulu mengasumsikan adanya Tuhan (Bakker, 1995 : 7). Akhirnya Bakker juga mengunci uraian tentang kosmologi dengan kalimat pendek yaitu bahwa kosmologi adalah ilmu pengetahuan tentang alam ataupun dunia (Bakker, 1995 : 27). Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kosmolgi adalah ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk alam semesta, mulai dari kelahirannya atau keberadaannya, perkembangannya hingga kemusnahannya, sebagai suatu sistem yang teratur. Memperhatikan rumusan bahwa kosmologi merupakan teori tentang asal-mula, dan watak, serta perkembangan alam semesta sebagai suatu sistem yang teratur, maka kosmologi sesungguhnya merupakan suatu pengetahuan yang memiliki jangkauan sangat luas menyangkut alam semesta yang di dalamnya terdapat seluruh ciptaan termasuk di dalamnya ada-lah manusia itu sendiri. Walaupun kosmologi menyangkut sesuatu yang sangat luas, namun dalam pengertian yang lazim dipahami secara umum lebih banyak dikaitkan pada beberapa hal, yaitu manusia hubungannya dengan alam semesta terutama dalam konteks tata surya, benda-benda langit, dan yang lebih sempit lagi terkadang dihubungkan dengan riwayat awal-mula keberadaan dan kemusnahan bumi sebagai salah satu anggota tata surya. Dalam perspektif yang lebih luas sesungguhnya keber-adaan seekor binatang dalam hubungannya dengan keberadaan alam semesta atau kosmos dapat juga dikaji dari sudut pandang kosmologi. Sebongkah gunung, sebuah planet, sebatang pohon, dan semua ciptaan yang merupakan anggota dari himpunan semesta jagat raya memiliki kaitan langsung dan tak langsung dengan kosmos, oleh karena itu dapat ditinjau dari sudut pan-dang kosmologi. Manusia yang dianggap sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling mulia juga tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan kosmos. Bahkan manusia merupakan mah-luk yang paling refresentatif mewakili Sang Pencipta dan ciptaan (alam semesta atau kosmos), karena tubuh manusia terdiri atas elemen astha prakrti (delapan unsur) yang terdiri dari panca maha bhuta ‘lima unsur kasar’, yaitu (1) prthivi atau bhumi ‘tanah’, (2) apah ‘air’, (3) teja ‘api’, (4) vayu ‘udara’, dan (5) kham ‘ether’, plus tiga unsur halus, yaitu (6) manas ‘pikiran’, (7) budhi ‘intelek’, dan (8) ahamkara ‘ego’ (Bhagavadgita VII.4). Selain astha prakrti itu manusia masih dilengkapi dengan unsur yang lebih halus yaitu atma yang merupakan percikan kecil dari Paramātma (Tuhan), sehingga manusia sangat pantas mendapat sebutan sebagai microcosmos (jagat raya kecil atau alam semesta kecil). Karena manusia di-pandang sebagai alam semesta kecil atau microcosmos, maka manusia secara fisik dan secara spiritual dipandang mampu membangun atau menciptakan keharmonisan di jagat raya atau alam semesta ini. 1.2. Deskripsi Singkat Tentang Kosmologi Hindu Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa kosmologi dalam konteks umum (sesuai dengan objek formal dan metodenya), kosmologi merupakan ilmu pengetahuan yang menyangkut penyelidikan, atau teori tentang asal-usul, watak, dan perkembangan alam semesta sebagai suatu sistem yang teratur. Namun, kosmologi dalam konteks umum itu belum memasukkan secara sengaja peranan Tuhan sebagai cikal-bakal terjadinya penciptaan dan peleburan alam semesta. Walaupun demikian kosmologi menyatakan bahwa ia bukan menolak kehadiran Tuhan sebagai cikal bakal adanya segala sesuatu, namun ia hanya tidak memasukkannya karena alasan bahwa pada umumnya ilmu-ilmu lain juga tidak memasukkan Tuhan dalam prosedur epistemologinya. Berbeda dengan kosmologi yang umum dipelajari oleh ilmuwan Barat, kosmologi Hindu menempatkan Tuhan pada posisi pertama dan utama sebagai causa prima, “cikal-bakal” (sangkan paraning dumadi) dari alam semesta ini. Kosmologi Hindu melihat penciptaan alam semesta atau jagat raya ini bermula dari Tuhan. Dari dalam badan atau kandungan Tuhan (hiranya garbha) alam semesta ini dilahirkan, dan kemudian ke dalam kandungan Tuhan (hiranya garbha) pula alam semesta ini akan dikembalikan. Dengan demikian alam semes-ta beserta isinya mengalami proses kelahiran, kehidupan, dan kematian yang berulang-ulang secara siklik (jantra) sebagai-mana kata-kata Carl Sagan seorang kosmolog terkenal di Cornel Universty. Uraian Carl Sagan tentang kosmologi Hindu itu dapat ditemukan dalam ajaran Hindu sebagaimana dinyata-kan dalam Bhagavadgita : Sarva bhūtāni kaunteya prakrtim yānti māmikām, Kalpa ksaye punas tāni kalpādau visrjāmy aham (Bhagavadgita IX . 7) ‘Semua mahluk masuk ke dalam prakrti-Ku pada akhir peredaran kalpa, wahai putra Kunti (Arjuna), dan pada permulaan kalpa yang berikutnya Aku ciptakan mereka kembali’ prakrtim svām avastabhya visrjāmi punah-punah, bhūta grāmam imam krtsnam avasam prakrter vasat (Bhagavadgita IX. 8) ‘Dengan menggerakkan prakrti-Ku, Aku ciptakan ber-kali-kali seluruh mahluk ini, tanpa daya dengan kekuat-an prakrti-Ku’ Sloka-sloka di atas dengan sangat jelas membenarkan uraian Carl Sagan tentang kosmologi Hindu, bahwa penciptaan mahluk, termasuk juga alam semesta diciptakan secara siklik atau berulang-ulang mengikuti bentuk lingkaran yang tidak ada ujung dan pangkalnya (anadi ananta). Perbedaan yang men-colok antara kosmologi Hindu dan kosmologi Barat atau kosmologi pada umumnya adalah; bahwa kosmologi Hindu dengan sengaja dan sadar menempatkan Tuhan sebagai awal, tengah, dan akhir keberadaan kosmos, sedangkan kosmologi secara umum (Barat) tidak terlalu penting me-nempatkan dan melibatkan Tuhan, atau kalaupun ada maka Tuhan hanya ditempatkan pada posisi yang tidak terlalu sentral dan juga hanya sebagai bagian akhir dari pencariannya, atau pada akhir kebuntuan dan kebingungannya. Terkait dengan uraian yang menyatakan bahwa kosmo-logi Hindu yang menghubungkan langsung kosmos ini dengan Tuhan, juga dapat ditemukan dalam uraian Ranchore Prime, sebagai berikut : Dalam dunia Hindu, kesadaran meliputi jagad raya ini dan segala yang ada di dalamnya. Manusia, gajah, sapi, anjing, semut, pepohonan, gunung-gunung, sungai-sungai, planet bumi ini, semua memiliki kesadaran. Matahari, bulan, dan bintang-bintangmenyinarkan kesadarannya kepada kita, dan ciptaan yang mempunyai kesadaran mengisi ruangan di sekitar kita dengan keberadaannya yang tidak terlihat. Semua ini ada dalam Manusia Kosmos. Jagat Raya ini adalah wujud dari Manusia Kosmos. Kosmologi Veda membagi ruang dalam Jagad Raya ini menjadi 14 lapisan system dari planet Patala yaitu telapak kakinya sampai pada planet surgawi yang disebut Satyaloka, yaitu ribuan kepala-Nya. Satu himne dari Veda kuno yang disebut Purusha Sukta, memerikan wujud Manusia Kosmos dan menghu-bungkan bagaimana semua yang ada dalam dunia ini bagian dari wujud yang universal (Prime, 2006 : 40) Isa Upanisad mengajarkan kepada kita bahwa segalanya; dari sebatang rumput sampai seluruh kosmos ini adalah rumahnya Tuhan. Tuhan berada di setiap sudut dunia ini. Oleh karena itu seluruh ciptaan ini adalah suci. Sungai Gangga adalah symbol dari kesucian itu yang meresap ke semua sungai dan gunung-gunung yang suci. Kailasha adalah gunung yang suci, tetapi semua gunung adalah suci karena di sana Tuhan. Sapi itu suci karena sebetulnya semua hewan adalah suci. Pemahaman bahwa semua ciptaan Tuhan adalah suci itulah yang seharusnya menjadi dasar dari hubungan kita dengan alam. Kebudayaan Barat menganggap kehidupan manusia yang harus disucikan, tetapi Hindu lebih jauh dari itu, bahwa bukan hanya kehidupan manusia yang harus disucikan, tetapi semua kehidupan adalah suci. Oleh karena itu semua jenis mahluk hidup tidak hanya manusia, harus dihormati (Prime, 2006 : 100). Prime juga mengkaitkan kosmos ini dengan ritual atau system pemujaan dalam tradisi Hindu, sebagaimana uraian berikut : Dalam pemujaan sehari-hari berbagai sarana fisik digunakan untuk mengingatkan kita akan asal-mula materi ini. Semua benda yang ada dilhami (diresapi, pen.) oleh keberadaan-Nya yang suci, namun sangat mudah untuk melupakan. Seperti halnya api yang ada dalam kayu, yang hanya dapat dikeluarkan bila diberikan kondisi yang sesuai, begitu juga jiwa ada dalam materi, namun hanya dapat dilihat oleh seseorang yang telah memperoleh penglihatan yang tepat. Upacara ritual dari pemujaan harian yang menyucikan sarana ritual membangunkan perasaan suci pemujanya yang tidak aktif yang menyebabkan si pemujaan mampu melihat yang ada dalam objek yang dilihatnya setiap hari. Dewa yang menjadi perwujudan Tuhan bisa dibuat dari kayu, batu, tanah, atau cat atau bisa digambarkan dalam jiwa, dan kemudian dipuja dengan sarana yang sudah disucikan (Prime, 2006 : 41). Melalui uraian-uraian di atas sangat jelas dapat dipahami bahwa kosmologi Hindu menempatkan Tuhan Sang Pencipta bersama-sama di dalam ciptaan-Nya. Tuhan hanya mungkin dapat dihayati dalam wujud fisik atau materi tertentu, itulah salah satu metodologi penghaytan dalam Hindu. Metodologi itulah yang membenarkan pemujaan terhadap Tuhan melalui wujud-wujud kosmis. Disitulah letak perbedaan kosmologi Hindu dengan kosmologi Barat, kosmologi Hindu; Tuhan memiliki hubungan langsung dan kesatuannya dengan kosmis. . 1.3. Kedudukan Kosmologi Hindu Di Mata Para Ahli Agama Hindu merupakan agama wahyu tertua usianya yang diturunkan oleh Hyang Widhi Wasa ‘Tuhan Yang Maha Esa’ yang terhimpun di dalam kitab suci Catur Veda yang terdiri dari 19.416 mantram. Dari sekian banyaknya agama yang diturunkan ke bumi, maka agama Hindu memiliki berbagai macam keunikan dibandingkan dengan agama lain. Keunikan-keunikannya tersebut antara lain; (1) Keunikan pertama; tahun pewahyuan kitab suci Veda sebagai sumber ajaran agama Hindu tidak ada satu ilmu-wan pun yang dapat mengetahui secara pasti. Hal ini membuktikan kebenaran pernyataan Veda bahwa ajarannya bersifat anadi ananta ‘tidak berawal dan tidak berakhir’. Karena kebenaran ajaran agama Hindu bersifat tidak berawal dan tidak berakhir maka ajaran agama Hindu yang bersumber dari Veda itu bersifat kekal abadi, maka agama Hindu sangat tepat bernama sanatana dharma yang berarti “kebenaran kekal abadi”. Karena sifat ajaranya yang demikian itu, maka Veda atau Hinduisme bagaikan cincin yang tidak dapat diketahui di mana ujung dan pangkalnya. Jika Veda atau Hinduisme diasumsikan sebagai sebuah cincin, maka ujung dan pangkal cincin itu hanya dapat diketahui oleh sang pembuat cincin itu saja, yaitu “Tuhan”. Kita harus bertanya kepada-Nya, dan untuk bertanya kepada-Nya kita harus mengetahui alamat-Nya dengan pasti dan memiliki peta yang jelas serta segala sarana yang memadai untuk itu. Sebab Dia yang tidak berbentuk (acintya, neti-neti) sekaligus memiliki wujud yang tak terhingga (sarvasah), sulit diketemukan segaligus tak perlu dicari karena Ia ada pada setiap yang dilihat dan juga di dalam sang pencari itu sendiri, Ia adalah segalanya (sarva bhuta). Para pencari memperoleh kebebasan dalam menen-tukan pilihannya, mereka boleh mencari di luar dirinya di alam macrocosmos ‘alam semesta’ atau di dalam alam microcosmos ‘dalam diri sendiri’. Kedua cara pencarian itu memiliki rintangan yang berbeda-beda, pencarian di luar pada macrocosmos sang pencari akan berhadapan dengan līla ‘permainan’ sakti atau maya dari Tuhan. Sedangkan pencarian di dalam alam microcosmos sang pencari mem-butuhkan kesungguhan dan kesabaran, sebab enam musuh yang bernama sadripu yang ada di dalam diri sang pencari merupakan musuh-musuh berupa nafsu yang tidak mudah ditaklukan. Selain itu peta dan musuh-musuh itu bersifat niskala. Penjelasan lebih luas tentang hakikat pembuktian pencarian pengetahuan ke dalam diri dan ke luar diri, dapat dibaca melalui ilustrasi konsep matematika dan konsep caturyuga dalam buku Panca Dhatu Atom dan Animisme karya I Ketut Donder 2001, 2002, dan 2004). (2) Keunikan kedua; adalah bahwa tidak ada wahyu pada agama lain yang mendeskripsikan kelompok manusia atas varna atau kelompok bakat manusia yang saat ini menjadi fakta sosial. Hanya wahyu dan ajaran Hindu saja lah yang mendeskripsikan konsep varna ini secara eksplisit. Apa bila semua orang bersikap objektif dan jujur akan penilaian terhadap objek kebenaran, maka tidak ada yang dapat menolak kebenaran konsep tentang varna itu. Hanya saja manusia saat ini kurang berani bersikap jujur, sehingga yang pantas diakui sebagai kebenaran terkadang diabaikan, sedangkan sesuatu yang tidak memiliki esensi penting malah menjadi pusat kajian yang serius dan mendalam. Walau seandainya benar terjadi distansi, distorsi atau paralaksi antara konsep varna dan praktek dalam penerap-an konsep varna itu, hal tersebut bukan berarti bahwa konsep itu harus dilenyapkan. Dalam kehidupan sehari-hari ada banyak contoh tentang adanya berbagai ketidak-konsistenan atau pun ketidakrelevanan antara teori dan praktek, antara peraturan dengan pelaksanaannya, antara konsep dan kenyataan (das sain dan das solen). Salah satu contohnya adalah Peraturan Lalulintas; dalam kenyataan setiap hari ternyata ada banyak orang yang melanggar peraturan lalulintas, seperti tidak memiliki SIM, tidak menggunakan helm, tidak menggunakan perlengkapan kendaraan bermotor sesuai dengan peraturan yang berlaku. Menerobos rambu-rambu lampu lalulintas, dan berbagai bentuk pelanggaran lainnya. Apakah dengan banyaknya fakta pelanggaran terhadap peraturan lalulintas itu, lalu peraturannya harus dicabut atau dilenyapkan?. Manusia sebagai pembuat, pemakai dan sekaligus pelanggar aturan lalulintas merupakan suatu fakta sosial yang tidak dapat dipungkiri. Walaupun demikian peraturan menggunaan sarana lalulintas itu harus tetap digunakan sebagai peraturan berlalulintas. Fakta adanya pelanggaran merupa-kan fenomena manusia yang memang selalu ingin menun-jukkan dirinya sebagai mahluk yang kreatif. Contoh lain; Indonesia memiliki konsep ideal yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yaitu menghantarkan rakyat Indo-nesia yang adil dan makmur, serta berkeadilan sosial. Ternyata sampai saat ini konsep ideal itu belum juga tercapai atau terwujud, toh sampai saat ini konsep adil dan makmur atau konsep keadilan sosial tidak pernah dicabut. Jika peraturan lalulintas dan idealisme bangsa tidak perlu dicabut; kecuali direvisi sesuai dengan perkembangan paradigma dan perkembangan penafsiran, maka deskripsi konsep varna sebagai konsep pengaturan kelompok bakat manusia sebagai fakta sosial, juga tidak perlu dicabut. Perkembangan penafsiran terhadap sesuatu sesuai dengan perkembangan alam pikiran manusia merupakan sesuatu yang wajar dan alami. Terjadinya perluasan penafsiran ter-hadap konsep catur varna dalam Hinduisme hingga menja-di diskriminasi sosial juga merupakan fakta sosial yang sesungguhnya terjadi pada seluruh masyarakat manusia di muka bumi, bukan hanya dalam masyarakat agama Hindu. Sikap hegemoni individu dan hegemoni kelompok terjadi di seluruh lapisan masyarakat manusia di bawah kolong langit ini. Kita bisa perhatikan mulai dari masyarakat suku terasing hingga masyarakat super modern di Amerika, akan dijumpai pengakuan terhadap diri dan kelompoknya sebagai yang lebih mulia, lebih unggul dari yang lainnya. Wahyu dan konsep Hinduisme memiliki keberanian dan sikap kejujuran dalam mendeskripsikan fakta- fakta sosial itu. Kesalahpenafsiran terhadap konsep varna dan ekses atau efek samping dari penerapan konsep varna sekalipun, dapat dimaklumi sebagai paradigma perubahan karakter zaman yang dipengaruhi oleh kekuasaan yuga, karakter sang waktu atau zaman. (3) Keunikan ketiga; hanya dalam ajaran agama Hindu, tidak ada dalam ajaran agama lain yang mendeskripsikan tentang ciri, sifat, karakteristik, bagian-bagian, dan unsur penyusun roh atau atma. Dalam agama Semith roh tak terdefinisikan, tetapi dalam ajaran Hindu deskripsi konsep tentang roh atau atma sangat luas dan juga mendetil. Deskripsi sifat-sifat atma yang persis dengan sifat Tuhan membuat ajaran Hindu memiliki keyakinan bahwa Tuhan ada di dalam tubuh manusia atau Tuhan bersatu dalam tubuh manusia. Suatu konsep yang menganjurkan agar manusia itu harus melakukan transpormasi diri atau realisasi diri; dari manava ‘manusia’ menjadi Madhava ‘Tuhan’. Suatu konsep yang tidak terdapat dalam semua agama di dunia ini kecuali hanya dalam ajaran Hindu. Pada konsep agama lain Tuhan sebagai Pencipta dan manusia sebagai ciptaan ber-ada pada pihak lain. Pada konsep agama lain itu tidak boleh menyamakan (mempersekutukan) Tuhan dengan ciptaan apapun. Oleh sebab itu konsep manunggaling kawula Gusti sesungguhnya hanya ada dalam agama Hindu. (4) Keunikan keempat; agama Hindu memiliki sebuah disiplin spiritual yang khas dengan tapahan-tahapan yang harus dijalani melalui suatu tuntunan seorang guru yang mapan dan mampu mengetahui, mengontrol jiwa setiap muridnya. Itulah sebuah disiplin spiritual yang disebut yoga yang saat ini sangat terkenal di seluruh dunia dan dipelajari, ditekuni, diterapkan oleh berbagai penganut agama. Yoga menyum-bangkan banyak hal untuk perbaikan fisik dan mental-spiritual umat manusia tanpa membedakan suku, ras, dan agama. Yoga, adalah sebuah disiplin spiritual universal milik ajaran Hindu, yang mengajak seluruh umat manusia agar menyadari terhadap pentingnya kesehatan fisik dan mental, dan spiritual. (5) Keunikan kelima, Hindu mengajarkan konsep punarbhawa atau reinkarnasi sebagai kelanjutan dari konsep karma phala. Untuk menikmati hasil-hasil perbuatan baik maupun buruk di alam materiali, sebelum dapat menyatu dengan Tuhan (manunggaling kawula gusti), maka atman itu akan tetap mengalami kelahiran kembali. Perbuatan-perbuatan baik membawa kepada kelahiran sebagai mahluk atau juga sebagai manusia yang lebih sempurna. Sebaliknya perbuat-an-perbuatan yang buruk membawa pada kelahiran sebagai mahluk atau manusia yang lebih rendah. Kelahiran kembali hanya dapat dihentikan ketika seseorang mampu menyatu kepada Tuhan. (6) Keunikan keenam; tidak ada agama lain kecuali agama Hindu yang mendeskripsikan bahwa kosmos, atau alam semesta, atau jagat raya ini sebagai mahluk hidup yang memiliki pikiran, dapat berbicara, dan berperasaan seperti manusia, yang juga mengalami peristiwa kelahiran dan kematian yang berulang-ulang. Alam semesta dipandang sebagai Manusia Kosmik yaitu “Manusia Semesta” dengan seluruh ruang dalam alam semesta ini dianggap sebagai “anatomi tubuh dari Manusia Kosmik”, alam semesta adalah penampak-an kasar (materi) dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Deskripsi seperti ini hanya terdapat dalam ajaran agama Hindu dan tidak terdapat dalam agama lain. Oleh sebab itu seorang kosmolog terkenal di dunia yang bernama Profesor Carl Sagan, Professor of Astronomy and Space Sciences dari David Duncan dan Direktur Laboratory for Planetary Studies di Cornell University, mengatakan bahwa; “Agama Hindu adalah satu-satunya agama besar dunia yang membaktikan dirinya pada gagasan bahwa kosmos sendiri mengalami sejumlah besar peristiwa kelahiran dan kemati-an, tak terhitung jumlahnya. Ini merupakan satu-satunya agama di mana skala waktu di dalamnya sesuai dengan skala waktu kosmologi modern, dan itu tentunya tidak disengaja. Siklusnya bergerak dari sehari semalam seperti yang dialami sehari-hari sampai sehari semalam Brahma, yang panjangnya 8,64 miliar tahun, lebih panjang dari umur bumi atau matahari dan kira-kira setengah dari waktu sejak Dentuman Besar. Selain itu masih ada skala waktu yang lebih panjang lagi. Ada suatu dugaan mendalam dan menarik yang mengatakan bahwa alam semesta hanyalah impian dewa yang telah seratus tahun Brahma larut ke dalam tidur tanpa mimpi. Alam semesta larut dengan diri-Nya sampai setelah satu abad Brahma berikutnya ia bergerak, dan memulai lagi impian kosmik agung-Nya. Sementara itu, di tempat lain ada banyak alam semesta lain yang jumlahnya tak terhingga, masing-masing dengan dewa yang memimpikan impian kosmik agung-Nya. Gagasan-gagasan besar itu disaingi dengan gagasan-gagasan lain, mungkin lebih besar lagi. Dikatakan bahwa mungkin manusia bukan impian para dewa, tetapi dewalah impian umat manusia. Ada banyak dewa di India, dan masing-masing dewa memiliki penjelmaan sendiri. Patung-patung perunggu Chola, yang dibuat sejak abad kesebelas, menampilkan beberapa macam penjelmaan dewa Shiwa. Dari semua ini, yang paling indah dan agung adalah gambaran penciptaan alam semesta yang berlangsung di setiap awal siklus kosmik, suatu tema yang dikenal dengan nama tarian kosmik Shiwa. Dewa ini yang dikenal dalam penjelmaan-Nya sebagai Nataraja atau Raja Penari yang memiliki empat buah lengan. Lengan atas kanan memegang tambur yang suaranya adalah suara penciptaan. Lengan atas kiri memegang lidah api, suatu peringatan bahwa alam semesta yang baru diciptakan ini, milyaran tahun lagi akan dihan-curkan. Dalam lagenda-lagenda ini terdapat benih-benih gagasan astronomi modern. --- jika materi yang ada lebih banyak dari yang kita lihat, tersembunyi di dalam lubang hitam atau di dalam gas panas tetapi tak kelihatan di antara galaksi-galaksi, maka alam semesta akan menghentikan sendiri pengembangannya dan mengikuti siklus berulang-ulang seperti yang berlangsung dalam kepercayaan di India. Terjadilah pengembangan diikuti dengan pengkerut-an alam semesta demi alam semesta, suatu kosmos tanpa akhir. Jika kita hidup di dalam kosmos yang seperti ini, maka Dentuman Besar bukan penciptaan kosmos, tetapi hanyalah akhir dari siklus sebelumnya, penghancuran pen-jelmaan terakhir kosmos. Alam semesta berosilasi, kosmos tidak memiliki awal atau akhir (bahasa Hindu menyatakan sebagai anadi ananta, pen.) dan kita berada di tengah-tengah siklus kematian dan kelahiran kembali yang ber-langsung terus-menerus (Sagan, 1997 : 337-339). Demikian hebat dan luar biasanya kosmologi Hindu, se-hingga seorang ilmuwan besar tingkat dunia memberikan penghargaan yang demikian tinggi terhadap kosmologi Hindu. Namun demikian, banyak orang termasuk orang Hindu belum menyadari kehebatan dari konsep kosmologi Hindu. Dalam keadaan seperti itu, buku tentang kosmologi Hindu di Indone-sia nampaknya sampai saat ini sangat langka atau bahkan belum ada. Untuk kepentingan mengisi kekosongan literatur kosmologi itulah kiranya dipandang sangat penting untuk menulis buku kosmologi ini. Agama Hindu mendeskripsikan bahwa alam semesta ini adalah wujud kasar atau maya dari Brahman ‘Tuhan Yang Maha Kuasa’ yang digambarkan sebagai Manusia Kosmik. Alam semesta sebagai wujud Manusia Kosmik digambarkan seperti seorang manusia yang sangat besar yang besarnya melebihi jagat raya ini, atau yang melingkupi seluruh alam semesta raya ini. Matahari dipandang sebagai mata-Nya, Yajna Asvameda sebagai kepalanya, gunung-gunung sebagai otot-otot-Nya, sungai-sungai sebagai pembuluh-pembuluh darah-Nya, hutan dan semak belukar sebagai rambut-Nya, udara dan angin sebagai napas-Nya, air hujan sebagai kencing-Nya, embun sebagai keringat-Nya, guntur sebagai batuk-Nya, kilat sebagai lirikan mata-Nya, siang dan malam sebagai kedipan mata-Nya, lava gunung merapi sebagai muntah-Nya, gempa bumi dan tanah goyang sebagai gerak membalikan badan-Nya di pembaringan-Nya. Perubahan cuaca dan berbagai perubahan yang terjadi adalah gambaran tentang kreativitas pikiran-Nya. Mendung yang gelap dianggap sebagai tanda kesedihan-Nya. Berdasarkan uraian di atas, maka dengan sangat jelas dapat dipahami bahwa konsepsi Hindu mendeskripsikan tentang alam semesta ini persis seperti mahluk hidup layaknya seperti manusia. Karena ia dianggap seperti manusia, maka ia juga dianggap dapat berperilaku seperti perilaku manusia. Karena ia dapat berperilaku seperti manusia maka alam semes-ta beserta isinya dapat diajak berkomunikasi oleh manusia. Banyak orang yang mengaku dirinya sebagai orang modern memberikan penilaian minir terhadap konsep Kosmologi Hindu ini. Mereka mencibir dan mengakatakan bahwa Kosmo-logi Hindu itu sebagai suatu kepercayaan yang sudah kuno. Selain itu ada juga yang menganggap sebagai suatu kepercaya-an yang nonsen atau tahayul, dan berbagai sebutan yang kurang layak. Tetapi, jika seseorang mau menarik napas pelan-pelan, dan berpikir tenang, merenungkan semua jenis pengeta-huan yang telah dikumpulkannya, serta melengkapi dengan viveka (suatu kecerdasan spiritual yang dapat membedakan mana yang hakiki dan mana yang tidak) maka orang tersebut pasti akan kaget dengan kebenaran deskripsi Kosmologi Hindu. Deskripsi Hindu selalu memulai dari Tuhan, sehingga untuk memahami Hinduisme harus berpijak pada Tuhan. Hinduisme memandang bahwa alam semesta (yang ada ini) berasal dari Yang Maha Ada (Tuhan). Menurut Veda alam semesta merupakan maya, sakti atau bentuk kasar (sakala) dari Tuhan Yang Maha Kuasa (niskala). Konsep sakala-niskala yang sama artinya dengan konsep material-spiritual atau sama dengan teori propan dan teori sakral tidak dapat dipisahkan dengan konsep Hinduisme. Karena alam semesta beserta isinya dipandang berasal dari Tuhan, maka manusia dan alam semes-ta adalah sesuatu yang sama, hanya berbeda dalam kuantitas atau kavasitasnya saja. Karena sama dan hanya berbeda pada kuantitasnya, maka alam semesta disebut macrocosmos ‘alam besar’ sedangkan manusia disebut microcosmos ‘alam kecil’. Semua unsur yang ada pada microcosmos ada di dalam alam macrocosmos atau sebaliknya. Demikian pula mahluk-mahluk lainnya merupakan wujud microcosmos-microcosmos. Dari sekian banyak microcosmos-microcosmos yang ada, maka manusia adalah miniatur alam semesta yang paling sempurna. Karena dalam tubuh manusia selain terdapat semua macam unsur asthaprakrti juga di dalam tubuh manusia terdapat istana-istana Tuhan. Selain itu manusia mendapat peranan sebagai menajer jagat raya agar terwujud keluarga semesta, sehingga ada kalimat subhasita atau ungkapan pendek dalam Veda mengatakan sarva bhuta kutumbhakam ’semua mahluk adalah bersaudara’. Jadi persaudaraan dalam pandangan Hindu bukan hanya ditentukan oleh pertalian darah antara satu keluarga manusia dengan keluarga manusia yang lainnya. Konsep kesemestaan Hindu yang universal ini tidak pernah mempermasalahkan; suku, ras, agama, dan kebangsaan manu-sia. Tetapi semua mahluk yang ada di alam semesta ini adalah satu ikatan keluarga semesta, di mana Tuhan adalah Ibu dan seka-ligus Ayah dari alam semesta ini (Bhagavadgita IX.17). Inilah paham Hinduisme yang mengandung paham keluarga semesta. Sejajar dengan paham Kosmologi Hindu ini juga dikenal konsep; Tattvam Asi ‘itu adalah ini’ atau ‘semuanya itu adalah semuanya ini’, atau ‘saya adalah dia – dia adalah saya’. Juga dikenal tentang konsep Tri hitakarana ‘hubungan tiga dimensi vertikal dan horizontal yang dilaksanakan secara simultan. Konsep-konsep tersebut bertujuan untuk mewujud-kan keharmonisan alam semesta. Semua konsep itu terimple-mentasi dalam berbagai macam ritual yang memang bertujuan untuk memperoleh keharmonisan jagat raya atau alam semesta. Tidaklah benar jika nilai-nilai harmoni dengan alam semata-mata dianggap nilai dari kebudyaan dan kepercayaan manusia yang masih primitif, sebagaimana uraian beberapa ahli antropologi. Penilaian itu terjadi karena para pakar antro-pologi tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang ajaran Hindu. Sesungguhnya tidak ada nilai-nilai primitif bagi ajaran Veda, karena Veda itu ada jauh sebelum adanya catatan-catatan tulisan manusia modern seperti sekarang ini. Istilah primitif hanya berlaku bagi manusia yang hanya mengenal sesuatu setelah adanya kebudayaan tulis-menulis seperti se-karang ini. Veda melampaui kebudayaan-kebudayaan tulis-menulis seperti itu. Veda dianut oleh manusia mulai dari kebu-dayaan lisan, tulisan dan kembali kepada kebudayaan lisan. Dengan demikian Veda mengandung pengetahuan yang paling purba sekaligus paling moder (Donder, 2006:355). Bila para antropolog menyadari bagaimana kepribadian Tuhan yang berwujud Matsya Avatar ‘Ikan Maha Besar’ menyelamatan umat manusia dari bahaya banjir besar pada era Tretayuga, yang kemudian menempatkan umant manusia di berbagai pulau dan belahan dunia yang tidak tenggelam oleh air bah itu, maka niscaya para antropolog juga akan memiliki deskripsi lain tentang Hinduisme. Dalam tradisi Veda mengenal konsep yuga atau kurun waktu untuk suatu siklus kecil dan siklus kurun waktu yang besar. Siklus besar terdiri dari empat yuga, empat yuga itu memiliki nama dan umur masing-masing, yaitu; (1) Satyayuga = 1.728.000 tahun, (2) Tretayuga = 1.296.000 tahun, (3) Dvapara Yuga = 864.000, dan (4) Kaliyuga = 432.000 tahun. Jadi satu siklus yuga berlaku selama 4.320.000 tahun, dan masih ada siklus yang lebih besar yang membentuk satu kalpa. Jika empat yuga tersebut berputar 1000 kali sama dengan satu hari Brahma, yaitu 4.320.000.000 tahun (satu siklus penciptaan) dan era Kaliyuga telah berusia 5000 tahun (Prabupad, 1986 : 421). Dari uraian tersebut, maka kisah bencana air bah yang terjadi pada era Tretayuga itu, dapat dihitung menurut hitungan tradisi Veda adalah sebagai berikut: (usia Tretayuga + usia Dvaparayuga + mulainya era Kaliyuga) = (1.296.000 + 864.000 + 5000) = 2.165.000 tahun yang lalu. Oleh sebab itu tidak ada yang aneh jika kebudayaan antara; suku Amborigin di Australia, suku Indian di Amerika, suku Baliyem di Irian Jaya, suku Toraja di Sulawesi, sub suku Baliage dan sub suku Trunyan di Bali, suku Kerala di India Selatan, dan semua suku-suku yang dianggap primitif lainnya memiliki tradisi upacara yang hampir sama dengan ritual-ritual Hindu (Veda). Juga tidak aneh jika nama Rsi Kanada menjadi nama salah satu negara bagian Amerika Serikat. Jika saja orang mau berpikir secara sungguh-sungguh objektif atau penuh perhatian, meng-gunakan pendekatan yang mendalam, dan menggunakan hati nurani, buddhi (Emotion Quation), menggunakan logika ilmu, viveka (Intlegentia Quation), serta menggunakan logika kecer-dasan spiritual, Atma jnana, Brahmavidya (Spiritual Quation), maka seseorang semestinya tidak menuduh umat Hindu yang mengharapkan harmoni dengan alam semesta dianggap sebagai tindakan kaum nrimo ‘pasrah’atau kaum tak berdaya, sebagai-mana tuduhan Sutan Takdir Alisyahbana.. Banyak orang dan kelompok orang memang ingin ber-pikir praktis pragmatis dengan prinsip (cepat-tepat, singkat-padat, sedikit usaha banyak untung, efektif-efesien). Sikap ini merupakan ciri utama manusia di era Kaliyuga, yang meng-gampangkan masalah dan tidak mau bersusah-susah. Banyak orang di era Kaliyuga ini menganut prinsip hidup “waktu muda poya-poya, tua kaya raya, dan mati masuk sorga”. Dengan prinsip hidup yang tidak jelas seperti itu, maka sudah tentu tidak memiliki pengetahuan yang komprehensip yang dapat dijadikan sebagai pegangan dalam mengajukan pendapat. Demikianlah keadaan pada umumnya masyarakat manusia era Kaliyuga, selain itu masih ada kebiasaan buruk lainnya yakni kebiasaan manusia yang kerap menghujat ajaran agama lain, mengutuk orang lain, menyalahkan orang lain saja. Bagi mereka yang memiliki kebiasaan atau tradisi hanya menyalahkan orang lain saja, maka di depan matanya orang lain itu hanya salah melulu, orang lain tidak memiliki nilai benarnya sama sekali. Kebudayaan, peradaban, atau karakter manusia seperti inilah yang telah mencabik-cabik persaudaraan universal atau persaudaraan semesta, atau persaudaraan jagat raya umat manusia di atas bumi di era Kaliyuga ini, sehingga kebencian, permusuhan, dan peperangan terjadi di segala pelosok dunia. Akhirnya ibu Pritivi atau bumi sebagai bagian dari alam semesta yang merupakan Ibu kandung dari manusia, kehilangan kesabaran, marah, dan menegur serta menyadarkan manusia dari kebutaan hatinya agar manusia mulai merenug-kan akan dosa-dosanya terhadap alam semesta sebagai saudara kandungnya (sebagaimana sindiran Ebiet G Ade). Alam semesta hendak berbicara bahwa butiran-butiran atom setiap unsur panca maha bhuta (tanah, air, api, udara, dan ether) yang ada di alam semesta ini merupakan saudara kandung tertua dari umat manusia. Mungkin bagi orang yang tidak pernah belajar filsafat dan tidak pernah belajar ilmu fisika tingkat tinggi, akan menganggap bahwa kalimat-kalimat ini hanyalah sebagai bualan dan untaian dari kalimat puistis. Tetapi tidaklah demikian, sebab dalam ilmu Mekanika Gelom-bang atau Fisika Quantum kebenaran ini sangat nyata. Dalam salah satu point penting dalam ilmu Fisika Quantum atau juga dalam teori Chaos membahas tentang derajat ketidak-teraturan yang terjadi di alam semesta ini disebabkan oleh perilaku manusia. Perilaku alam menjadi menyimpang dari hukum-hukum kebiasaanya. Hujan turun tidak pada musimnya, kema-rau panjang melanda ketika musim hujan seharusnya turun, pohon tidak mau berbuah, kucing berak di beras, sapi makan kertas semen, musang berbulu ayam, semangka berdaun sirih, laki-laki memakai rok, wanita berkepala gundul, laki-laki berambut panjang, berbagai keanehan, berbagai bencana, banyaknya kelahiran bayi abnormal, anak melawan orang tuanya, manusia dididik dengan cara binatang dan binatang dididik dengan cara manusia, semua ini merupakan bentuk penyimpangan perilaku terhadap tatatertib alam semesta. Dalam penyimpangan perilaku alam dari kebiasaannya itu, manusialah penyebab pertama dan utamanya. Oleh sebab itu manusia memiliki tanggungjawab atas segala bencana yang ada di atas bumi ini. Pengingkaran manusia terhadap tanggung-jawabnya itu akan membuat alam semesta ini semakin marah dan murka. Sebagaimana kata seniman besar Indonesia Ebiet G. Ade dalam syair lagunya; “mungkin alam telah enggan ber-sahabat dengan kita atau Tuhan mulai bosan melihat tingkah manusia yang selalu bangga dengan dosa-dosanya”. Apakah agama yang dianut oleh masing-masing orang dapat dijadikan sarana yang efektif dalam menyadarkan umat manusia atas dosa-dosanya ?. Adakah para tokoh agama telah menyadarkan setiap umatnya untuk sadar terhadap dosa-dosa yang telah dibuatnya ?. Bagaimana tanggungjawab para tokoh agama terhadap tindakan-tindakan manusia yang selalu bangga dengan dosa-dosa ?. Dapatkah agama diperlombakan untuk mewujudkan manusia yang bijak ?. Dapatkah agama dianggap gagal jika tidak mampu menjadikan penganutnya bertingkah-laku yang bijaksana ?. Semua pertanyaan di atas merupakan tantangan bagi ajaran agama yang menyatakan bahwa ajarannya menjamin manusia untuk menjadi mahluk yang paling mulia. Jika agama yang dianut tidak menyebabkan penganutnya memiliki sifat dan sikap yang bijak, maka penganutnya harus dianggap sebagai pelaku penodaan terhadap agama yang dipeluknya. Penodaan seperti ini harus dipandang sebagai penodaan yang paling patal. Sedangkan kesalahpenafsiran agama dari orang yang tidak menganutnya harus dapat dianggap sebagai kebo-dohan belaka dan harus dapat ditolerir. Jika saja manusia masih mau menyisakan sedikit perasaan bersaudaranya atau perasaan bersahabatnya dengan alam ini, dan mengajak alam ini dalam dialog semesta yang mesra, maka niscaya alam semesta sebagai saudara kandung tertua dari manusia akan bersedia memeluk dan merangkul dengan cinta kasih sayang semesta. Sesungguhnyalah bahwa Pritivi yang kemudian menjadi bahasa Indonesia Pertiwi adalah nama lain dari Bumi (bhu) yang berarti “Ibu Semesta” merupakan wujud nyata dari kasih sayang Tuhan. Demikian juga Akhasa yang kemudian menjadi bahasa Indonesia “Angkasa” adalah nama lain dari “Ayah Semesta” juga akan dengan kasih sayang menaungi manusia. Pendek kata alam semesta ini adalah “Ibu” dan “Ayah” bagi manusia. Bumi sebagai ibu yang penuh cinta kasih sayang akan menangis jika melihat anak-anaknya mengalami kesu-sahan atau penderitaan. Ibu Pritivi sebagai ibu di balik Bumi dan Akhasa sebagai ayah di balik awan akan segera menetes-kan air mata berupa hujan ketika melihat anak-anaknya kekeringan dan kepanasan karena kemarau panjang. Tetapi begitu hujan turun sebagai curahan kasih sayang Ibu Semesta dan Ayah Semesta, malah banyak anak manusia yang memaki-maki air mata (hujan) Ibu Semesta dan air mata (hujan) Ayah semesta itu. Memang terlalu banyak manusia sangat sombong ketika kepadanya diberi gelar sebagai mahluk paling mulia. Seharusnya tidak semua manusia dapat disebut sebagai “mahluk paling mulia”, hanya manusia yang lebih banyak dikendalikan oleh sifat ke-devata-an atau daivasampat yang layak disebut mahluk paling mulia. Pemahaman tentang perilaku macrocosmos, jagat raya atau alam semesta sebagai perilaku semesta akan mewujudkan peradaban kasih sayang semesta sebagai gambaran sorga di bumi yang dicita-citakan oleh setiap umat manusia yang lahir ke bumi. Moksartham jagadita ya ca iti dharma hanya mungkin diwujudkan melalui penghayatan terhadap persau-daraan semesta dalam konsep kosmologi Hindu. 1.4. Permasalahan Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa Kosmologi Hindu demikian luhurnya. Kosmologi Hindu menyangkut per-saudaraan universal bagi seluruh isi alam semesta. Sebongkah batu yang tergeletak di jalan dan seekor anjing kurap, serta seorang brahmana agung dipandang sebagai satu keluarga semesta dalam Kosmologi Hindu. Sentuhan yang kasar terhadap bangkai seekor binatang buas dipandang dapat mempengaruhi posisi partikel-partikel atom di udara dan menyebabkan perubahan frekuensi gelombang alam semesta. Sebaliknya sentuhan halus dengan penuh perasaan kasih sayang akan memiliki pengaruh terhadap vibrasi gelombang kosmis yang kemudian berakibat positif pada spiritual seseorang. Demikian prinsip kesemestaan yang dituangkan dalam konsep Kosmo-logi Hindu. Walaupun demikian luhurnya wujud Kosmologi Hindu itu, namun belum banyak orang, termasuk umat Hindu sendiri belum mengetahui ajarannya secara mendalam. Untuk itu ada beberapa permasalahan yang dapat diajukan dalam buku ini : (1) Apakah kosmologi itu?, (2) Bagaimana kosmologi Hindu itu?, (3) Mengapa Kosmologi Hindu itu tidak tersebar luas kepada seluruh umat Hindu dan masyarakat luas?, (4) Adakah hubungan Kosmologi Hindu dan Teologi Hindu?, (5) Adakah hubungan antara Kosmologi Hindu dengan panca yajna atau ritual Hindu?. dll. 1.5. Tujuan Dari deskripsi singkat tentang Kosmologi Hindu di atas dapat diketahui bahwa kosmologi Hindu menganut prinsip ideal, luhur, dan suci yaitu gagasan universal suatu “Keluarga Kasih Semesta” atau “Keluaraga Sejagat”. Melalui deskripsi kosmologi Hindu dalam buku ini, diharapkan: (1) Umat Hindu dan masyarakat luas termotivasi untuk memahami lebih mendalam tentang Kosmologi Hindu. (2) Umat Hindu memiliki rasa kebanggaan dan semakin meyakini ajaran agama Hindu sebagai pedoman yang pantas untuk menuntun hidupnya dalam mengarungi kehidupan di dunia propan ini dan di alam sunya loka. (3) Pihak non Hindu semakin memahami dan menyadari bahwa Kosmologi Hindu sebagai metodologi dalam penjabaran teologi Hindu. (4) Dapat melengkapi kepustakaan Kosmologi Hindu. (5) Menambah dan memperluas pengetahuan umat Hindu. (6) Meningkatkan kesadaran manusia dari “kesadaran badan (biasa)” hingga sampai pada tingkat “kesadaran kosmik atau kesadaran jagat raya (luar biasa)”. Sebab dengan “kesadaran kosmis atau kesadaran jagat raya” maka akan terwujud keharmonisan alam semesta. 1.6. Manfaat Dengan terbitnya buku ini diharapkan akan bermanfaat terutama : (1) Umat Hindu dan masyarakat luas termotivasi untuk membaca ajaran agama Hindu, khususnya tentang Kosmologi Hindu dan teologi Hindu. (2) Ada kebangaan dan rasa memiliki ajaran agama Hindu bagi umat Hindu sehingga akan terjadi internalisasi ajaran agama Hindu. (3) Pihak lain dapat mengetahui bahwa ajaran Hindu ter-utama Kosmologi Hindu secara benar, sehingga peni-laiannya menjadi objektif komprehensip. (4) Adanya kepustakaan Kosmologi Hindu (5) Pengetahuan umat semakin luas. Dalam buku ini walau diajukan beberapa rumusan masa-lah, namun dalam pembahasannya tidak menggunakan urutan permasalahan tersebut dalam bentuk uraian masing-masing bab. Rumusan masalah yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran bahwa demikian banyak masalah yang ada diseputar kosmologi Hindu, masyarakat Hindu, dan kontak sosial dan kontak teologis dengan penganut agama lain. Semuanya dapat dihubungkan secara luas dengan fenomena-fenomena di dalam cosmos, yang secara langsung dan tak langsung memiliki kaitan dengan cosmos. Sehingga semua yang ada di dunia ini memiliki hubungan langsung dan tak langsung secara kosmo-logis antara yang satu dengan lainnya. Sehingga kosmologi Hindu lebih cenderung pada tipe “Bangunan Keluarga Semesta Raya dengan Tuhan sebagai Ibu, Bapak, Datuk alam semesta”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon berkomentar yang sopan. Terimkasih